Petrus Albertus Van der Parra dan Jejak Kekuasaan VOC

Ulasan lengkap ini mengulas kehidupan dan kekuasaan Petrus Albertus van der Parra sebagai Gubernur‑Jenderal VOC di Hindia Belanda (1761–1775), mencerminkan bagaimana gaya hidup elit, praktik patronase, dan administrasi kolonial memperkuat serta sekaligus menggerogoti kekuasaan VOC di Indonesia.


1. Siapa Petrus Albertus van der Parra?

Petrus Albertus van der Parra lahir pada 29 September 1714 di Colombo, Ceylon (Sri Lanka) sebagai putra seorang sekretaris pemerintah setempat dalam struktur VOC. Keluarganya telah menetap di Asia sejak generasi sebelumnya. Wikipedia

Ia memulai karier formalnya di VOC pada usia muda — 14 tahun — sebagai prajurit administratif (soldaat van de penne), kemudian berturut‑turut menjadi asisten, pembukuan, pembeli, dan naik ke posisi strategis di pemerintahan VOC di Batavia (Jakarta). Sebelum menjadi Gubernur‑Jenderal, rangkaian jabatan penting yang ia pegang termasuk First Secretary, Counsellor (penasihat), dan Director‑General. Wikipedia

Pada 15 Mei 1761, setelah kematian pendahulunya Jacob Mossel, Van der Parra diangkat sebagai Gubernur‑Jenderal VOC di Hindia Belanda, jabatan kolonial paling puncak di wilayah jajahan VOC. Wikipedia


2. Kekuasaan VOC di Tangan Van der Parra

Menjadi Gubernur‑Jenderal berarti Van der Parra mengendalikan seluruh aspek administrasi dan perdagangan VOC di Nusantara selama lebih dari 14 tahun (1761–1775), salah satu periode jabatan terlama di abad ke‑18. Wikipedia

VOC pada periode ini masih menguasai jalur perdagangan rempah, monopoli batavia, dan hubungan politik dengan penguasa lokal di Sumatra, Jawa, dan wilayah Nusantara lainnya. Meskipun catatan resmi kurang detail, protokol administratif VOC pada masa Van der Parra mencerminkan dominasi besar perusahaan ini atas ekspor komoditas seperti indigo, kapas, dan rempah. Arsip tahun 1764‑1769 mencatat laporan perdagangan indigo dan kapas yang dibuat dengan persetujuan Van der Parra bersama Dewan VOC di Batavia. Varman Institute


3. Gaya Hidup dan Kontroversi Kekuasaan

Van der Parra dikenal tidak hanya sebagai administrator kolonial, tetapi juga sebagai sosok yang gemar gaya hidup mewah, pesta, dan patronase elit. Ia bahkan merayakan pelantikannya sebagai Gubernur‑Jenderal secara besar‑besaran pada hari ulang tahunnya, menjadikannya semacam hari libur atau perayaan kolonial di Batavia. Historia.ID+1

Sikapnya ini — dikombinasikan dengan kebiasaan memberi jabatan pada teman dan kolega sebagai bentuk patronase — memicu kritik bahwa pemerintahan VOC di bawahnya sering dipengaruhi oleh nepotisme dan korupsi alias kekuasaan dinikmati sebagai hak istimewa kolonial, bukan sekadar tugas administratif. Wikipedia

Sejarawan juga memandang Van der Parra sebagai contoh gaya hidup kolonial yang paradoksal: kekuasaan VOC tampak besar di permukaan, tetapi praktik internalnya melemahkan organisasi dalam jangka panjang. DBNL


4. Jejak Sosial dan Infrastruktur

Jejak kekuasaan Van der Parra tetap tampak di beberapa peninggalan fisik. Rumah‑rumah kolonial seperti Landhuis Tjimanggis di Depok dahulu menjadi kediamannya atau tempat peristirahatan pejabat VOC yang dekat dengannya — kini menjadi situs bersejarah yang menghadapi ancaman rusak karena pembangunan modern. Nkrisatu+1

Selain itu, kawasan seperti Istana Weltevreden di Batavia (yang berada di kawasan sekitar Lapangan Banteng sekarang) juga mencerminkan arsitektur kolonial dan pusat kekuasaan VOC di era tersebut. VOI


5. Akhir Masa Kekuasaan dan Warisan

Van der Parra meninggal masih menjabat sebagai Gubernur‑Jenderal pada 28 Desember 1775 di Batavia, mengakhiri kekuasaannya yang panjang. Ia digantikan oleh Jeremias van Riemsdijk. Wikipedia+1

Warisan Van der Parra kompleks: di satu sisi ia memperkuat dominasi VOC atas perdagangan kolonial; di sisi lain pemerintahan era ini mencerminkan korupsi, patronase, dan gaya hidup elit yang kemudian ikut berkontribusi terhadap kemunduran VOC secara keseluruhan pada akhir abad ke‑18. VOI+1


6. Kesimpulan: Jejak Kekuasaan dan Kontradiksi VOC

Petrus Albertus van der Parra adalah contoh nyata bagaimana VOC pada puncak kekuasaannya dikelola oleh figur kolonial yang sekaligus menjadi simbol dominasi, eksploitasi, dan administrasi yang lemah terhadap tuntutan moral dan etika. Meski ia berhasil mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari satu dekade, gaya hidup dan praktik patronase di bawah pemerintahannya tetap menjadi bagian dari narasi ambivalen sejarah kolonial Belanda di Indonesia.