Sutan Sjahrir, tokoh politik Indonesia dan nantinya Perdana Menteri pertama RI, mengalami masa pengasingan di Pulau Banda Neira mulai 11 Februari 1936 bersama Mohammad Hatta. Pengasingan ini dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai bentuk pembungkam terhadap pengaruh nasionalis mereka yang terus menyerukan kemerdekaan. Kompas+1
Banda Neira, sebuah pulau kecil di Kepulauan Banda, sebelumnya telah menjadi lokasi pembuangan beberapa tokoh pergerakan nasional. Meskipun berada jauh dari pusat kekuasaan, pulau ini punya suasana alam yang indah dan komunitas lokal yang khas. ANTARA News
2. Persahabatan dengan Anak‑anak Banda Neira
Begitu tiba di Banda Neira, Sjahrir dan Hatta tinggal bersama dalam satu rumah sewaan di Kampung Ratu dekat sekolah dasar setempat. Di sinilah interaksi Sjahrir dengan anak‑anak lokal mulai terbentuk. Mereka menyapa bocah‑bocah yang bermain di sekitar rumah — termasuk Lily Gamar Sutantio, adik‑adiknya Mimi dan Ali, serta teman‑teman mereka yang lain. Historia.ID
Sjahrir yang dikenal cerdas dan terbuka tidak hanya sekadar berinteraksi santai. Ia mengajak anak‑anak tersebut datang ke rumahnya untuk belajar privat membaca, menulis, berhitung, dan bahasa Belanda. Banyak dari mereka belum bersekolah karena pembatasan akses pendidikan pada masa kolonial. Historia.ID
Dia bahkan terkenal menjahit sendiri baju anak‑anak itu dan mengajak mereka bernyanyi lagu Indonesia Raya di pantai — meski bernyanyi di tempat terbuka yang mungkin mengundang perhatian Belanda terasa berani pada zamannya. Historia.ID
3. Sekolah Alternatif di Masa Pengasingan
Dedikasi Sjahrir terhadap pendidikan bagi anak lokal kacau-balau terbayar dengan respon anak‑anak yang antusias. Ia menciptakan suasana belajar yang lebih ramah dibanding sekolah formal kolonial yang eksklusif itu. Perhatian Sjahrir terhadap edukasi bukan sekadar pengajaran dasar, tapi dorongan untuk membuka pikiran mereka agar berani bertanya dan berpikir kritis — nilai yang kemudian menjadi bagian penting dari perjuangan intelektual Sjahrir sendiri. Historia.ID
4. Pengangkatan Anak‑anak dan Warisan Emosional
Kisah Sjahrir di Banda Neira semakin mengharukan ketika beberapa anak mendapat status lebih dari sekedar murid: mereka diangkat menjadi anak angkat. Lily, Mimi, dan bayi Ali diasuh langsung oleh Sjahrir, sementara Hatta mengangkat Des dan Does Alwi sebagai anaknya. Historia.ID
Hubungan emosional ini jadi semacam “obat” bagi Sjahrir untuk menghadapi keterasingan jauh dari tanah kelahiran dan tekanan situasi politik. Interaksi dengan anak‑anak lokal menjadi bagian penting dari kesehariannya selama bertahun‑tahun berada di sana. Historia.ID
5. Akhir Masa Pengasingan & Dampaknya
Enam tahun berlalu, dan pada 1 Februari 1942, Sjahrir dan Hatta dipindahkan kembali ke Jawa seiring ancaman serangan Jepang semakin nyata. Sjahrir diberikan izin membawa ketiga anak angkatnya dalam perjalanan itu, menunjukkan hubungan yang sudah sangat kuat antara beliau dan anak‑anak Banda Neira. Historia.ID
Kisah tersebut mencerminkan sisi lain dari perjuangan kemerdekaan: bukan hanya strategi politik atau pertempuran diplomatik, tapi juga hubungan manusiawi yang berkembang dalam situasi sulit dan akhirnya berkontribusi pada narasi pendidikan dan cinta kasih di tengah pergolakan zaman. Historia.ID
6. Warisan Budaya & Sejarah
Hingga kini, sejarah keterasingan Sjahrir dan Hatta di Banda Neira dijadikan bagian penting dari warisan lokal serta daya tarik wisata sejarah. Tidak hanya bangunan rumah pengasingan, tetapi juga kisah mereka bersama komunitas lokal yang terus dikenang. ANTARA News
