Mengapa Nahdlatul Ulama (NU) Meninggalkan Masyumi 1952

Pada 5 April 1952, sebuah keputusan mencatat momen penting dalam sejarah politik Islam Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi mengundurkan diri dari keanggotaan Masyumi. Alasan-alasan yang mendasari langkah tersebut bukan sekadar teknis politik semata, melainkan juga pengakuan terhadap perasaan terpinggirkan yang dirasakan serta konflik nilai-kultural yang mulai tumbuh di interior organisasi besar itu.
Menurut catatan historis, NU merasa bahwa kiprahnya sebagai ormas ulama yang mendominasi basis rakyat terutama santri-pesantren tidak dihargai secara setara oleh Masyumi, yang semakin didominasi oleh elemen modernis Islam dan politik parlementer.

Latar Belakang & Titik Tension

Masyumi pada masa awal berdirinya memang muncul sebagai wadah politis yang menghimpun beberapa ormas Islam termasuk NU, Muhammadiyah dan lain-lain. Dari sisi NU, keterlibatan dalam ranah politik dianggap sebagai tanggung jawab untuk umat, namun ketika masuk ke arena partai politik penuh sandiwara dan perebutan jabatan, banyak kalangan santri mulai resah.
Beberapa faktor konflik mencuat antara NU dan Masyumi:

  • NU merasa terpinggirkan dalam struktur kekuasaan Masyumi—misalnya dalam kabinet, kursi dan posisi strategis.

  • Ulama-ulama NU merasa kurang dihormati dalam pengambilan keputusan partai yang semakin teknokratik dan modernis.

  • NU melihat bahwa politik partai telah menggeser orientasi dari dakwah dan pesantren ke arus politik semata, yang dianggap menyimpang dari khitah NU.

Proses Pemisahan

Pada Muktamar NU di Palembang tahun 1952, secara resmi NU memutuskan keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik tersendiri. Keputusan ini menandai bahwa NU ingin mempertahankan identitas ke-ulamaan dan basis santrinya, serta menghindari dominasi modernis politik praktis yang dianggap membahayakan tradisi pesantren.
Sebagai konsekuensi, struktur Masyumi berubah: NU yang semula sebagai anggota istimewa merelakan posisinya, sedangkan Masyumi pun kehilangan salah satu pilar ideologis dan basis massa besar. nubatang

Analisis Dampak & Relevansi

Langkah keluar NU dari Masyumi punya beberapa implikasi penting:

  • Memperkuat posisi NU sebagai organisasi berbasis sosial-keagamaan, sekaligus sebagai kekuatan politik rakyat pesantren.

  • Melemahkan koalisi Islam politik dalam Masyumi, yang kemudian menghadapi tantangan internal hingga akhirnya dibubarkan tahun 1960. Wikipedia

  • Mengilustrasikan dimensi konflik antara modernisme dan tradisionalisme dalam politik Islam Indonesia — tema yang masih relevan hingga hari ini.
    Sejarawan menilai bahwa keputusan ini menjadi garis pembatas penting: antara organisasi keagamaan berbasis ulama dan partai politik berbasis aspirasi massa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa partai politik tidak selalu menjadi wadah utama organisasi keagamaan besar jika orientasinya berbeda.

Kesimpulan

Keputusan NU untuk meninggalkan Masyumi bukanlah sekadar masalah keanggotaan politik. Ia mencerminkan krisis representasi, persaingan nilai, dan perubahan orientasi organisasi Islam di Indonesia abad ke-20. Bagi NU, momen itu menjadi titik balik menuju identitasnya sebagai organisasi dakwah dan sosial, bukan semata mesin politik partai.
Bagi studi politik dan sejarah Indonesia, peristiwa ini menjadi contoh penting bahwa koalisi politik yang dibentuk atas dasar agama bisa rentan terhadap konflik internal jika mengabaikan keseimbangan antara kepentingan umat dan kepentingan kekuasaan.